Beranda | Artikel
Jelang Ramadhan (Bagian 4)
Selasa, 26 Maret 2019

Bab 4. Syarat Diterimanya Amalan

Salah satu sebab penyimpangan dan kehancuran manusia adalah disebabkan tidak memahami dan mewujudkan syarat-syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan untuk meraih suatu tujuan. Demikian pula dalam beramal. Banyak orang salah jalan dalam melakukan amalan; dia mengira telah mendekatkan dirinya kepada Allah dengan amalnya tetapi ternyata amalnya itu justru menjauhkan dirinya dari Allah.

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira bahwa dirinya telah melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)

Syarat utama untuk bisa diterimanya amalan di sisi Allah adalah pelakunya harus memiliki aqidah dan tauhid yang benar. Orang yang musyrik atau kafir maka amalannya tidak akan diterima oleh Allah; sebanyak apapun amal itu.

Allah berfirman (yang artinya), “Seandainya mereka melakukan syirik pasti akan lenyap semua amalan yang pernah mereka lakukan.” (al-An’am : 88). Allah juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima dan di akhirat akan termasuk golongan orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85)

Begitu pula orang yang melakukan amalan tanpa keikhlasan, mungkin karena dia riya’ dan sum’ah/mencari pujian orang. Amalannya akan sirna dan berbalik menjadi malapetaka baginya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amalan yang pernah mereka kerjakan lantas Kami jadikan ia bagai debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23). Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa amal-amal itu berbeda-beda tingkatan dan keutamaannya disebabkan apa-apa yang ada di dalam hati pelakunya; yaitu kualitas iman dan ikhlasnya.

Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya. Dan betapa banyak amalan besar justru menjadi kecil/tidak berarti karena niatnya.”

Amalan yang dilakukan pun harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila amalan itu tidak sesuai dengan tuntunan maka tidak akan diterima. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka tertolak.” (HR. Muslim).

Mengikuti tuntunan merupakan bukti kecintaan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian mengaku mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 19)

Puasa Ramadhan telah ditentukan waktu dan batasannya. Puasa diawali sejak terbit fajar atau tibanya waktu subuh hingga tenggelamnya matahari atau datangnya waktu maghrib. Apabila seorang meninggalkan puasa karena sakit atau bersafar maka dia harus menggantinya pada hari-hari lainnya di luar bulan Ramadhan. Dianjurkan untuk mengakhirkan makan sahur dan menyegerakan buka puasa ketika sudah masuk waktunya. Puasa Ramadhan dimulai setelah hilal/bulan sabit di awal bulan tampak atau dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah karena melihatnya (hilal), dan berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu hendaknya mengikuti keputusan pemerintah dalam memulai dan mengakhiri bulan puasa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah hari pada saat kalian bersama-sama berpuasa, dan hari raya adalah hari dimana kalian bersama-sama berhari raya.” (HR. Tirmidzi).

Dengan demikian niscaya akan terwujud persatuan dan melenyapkan fanatisme golongan.

Persatuan umat ini akan terwujud dengan kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah dengan mengikuti pemahaman generasi terbaik umat ini yaitu para sahabat radhiyallahu’anhum ajma’in.

Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Wajib atasmu mengikuti jejak-jejak orang yang terdahulu (para sahabat nabi) meskipun orang-orang menolakmu, dan jauhilah olehmu pendapat akal-akal manusia meskipun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang menarik.”

Ibadah adalah perkara tauqifiyah. Artinya tidak bisa dikerjakan kecuali dengan landasan dalil. Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan; al-’llmu qoblal qauli wal ‘amal. Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Dalam memahami dalil pun harus dengan cara yang benar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah, “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sebagaimana yang dikehendaki oleh Rasulullah.”

Puasa Ramadhan bukan semata-mata menahan haus dan lapar. Akan tetapi orang yang berpuasa Ramadhan juga harus menahan lisannya, pandangan, dan pendengarannya dari hal-hal yang diharamkan Allah lebih ketat daripada di luar bulan Ramadhan.

Betapa banyak orang yang berpuasa dan tidak mendapatkan apa-apa selain haus dan lapar saja. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk beribadah dengan sebaik-baiknya di bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang lainnya.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/jelang-ramadhan-bagian-4/